Archive | September, 2010

Dekomposisi: Heterogenitas Temporal dan Spasial, serta Faktor Pengendali

22 Sep

HETEROGENITAS TEMPORAL DARI DEKOMPOSISI

Proses dekomposisi memiliki kontrol dominan yang mengalami perubahan seiring dengan waktu. Dekomposisi merupakan suatu rangkaian proses yang disebabkan oleh interaksi dari proses fragmentasi, perubahan kimia, serta peluluhan. Pada saat sampah mulai mengalami proses dekomposisi, massa sampah akan mengalami penurunan secara eksponensial terhadap waktu. Sebagai contoh, sampah daun teruraikan 30-70% dari massanya dalam tahun pertama dan sisanya dalam lima hingga sepuluh tahun kemudian. Penurunan eksponensial dari massa sampah menandakan bahwa terdapat proporsi konstan yang terurai setiap tahunnya.

Lt = L0ekt (Pers. 1)

ln (Lt/L0) = -kt     (Pers. 2)

L0 adalah massa sampah pada waktu nol dan Lt adalah massa sampah pada waktu t. Konstanta dekomposisi (k) adalah eksponen yang mencirikan tingkat dekomposisi dari bahan tertentu. Waktu tinggal (residence time) merupakan waktu yang dibutuhkan untuk sampah dapat membusuk dalam kondisi stabil. Waktu tinggal sampah juga dapat diperkirakan dengan perhitungan ukuran rata-rata genangan sampah (litter pool) dibagi dengan masukan rata-rata genangan sampah tersebut per tahunnya.

Konstanta dekomposisi sangat bervariasi sesuai dengan komposisi substratnya. Gula misalnya, memiliki variasi waktu tinggal dari jam hingga hari; sedangkan lignin memiliki variasi waktu tinggal dari bulan hingga dekade (tergantung pada ekosistemnya). Jaringan tubuh tumbuhan dan hewan memiliki komposisi kimia yang berbeda secara substansial yang menyebabkan masing-masing mempunyai konstanta dekomposisi yang juga berbeda. Secara keseluruhan, sampah umumnya memiliki waktu tinggal dari bulan hingga bertahun-tahun, sedangkan bahan organik yang tercampur dengan tanah mineral memiliki waktu tinggal dari tahun hingga berabad-abad.

Model eksponensial dari proses dekomposisi (pers. 1), yang menunjukkan tingkat dekomposisi yang konstan, hanya merupakan pendekatan kasar. Proses dekomposisi ini sebenarnya akan lebih akurat apabila digambarkan oleh kurva dengan setidaknya tiga fase (Gbr. 1). Selama fase pertama, peluluhan sel yang dapat terlarutkan merupakan proses yang utama. Sampah yang relatif masih baru dapat mengalami kehilangan 5% dari massanya dalam tempo 24 jam hanya dikarenakan proses peluluhan ini sendiri. Fase kedua dari dekomposisi terjadi lebih lambat dan melibatkan kombinasi dari proses fragmentasi oleh hewan tanah, perubahan kimia oleh mikroba tanah, serta peluluhan produk pembusukan dari sampah. Model eksponensial dari proses dekomposisi umumnya diterapkan terutama untuk fase kedua ini. Fase akhir dari proses dekomposisi terjadi dengan tempo sangat lambat serta melibatkan perubahan kimia dari bahan organik yang tercampur dengan tanah mineral dan peluluhan produk yang teruraikan ke lapisan tanah lainnya. Proses dekomposisi selama fase akhir ini sering diperkirakan melalui pengukuran respirasi tanah atau isotop pelacak. Tingkat dekomposisi serta konstanta dekomposisi (k pada Pers. 1) mengalami penurunan yang bertahap seiring dengan rangkaian tiga fase dekomposisi ini.

HETEROGENITAS SPASIAL DARI DEKOMPOSISI

Sebagian besar dari proses dekomposisi terjadi di dekat permukaan tanah, dimana masukan sampah terkonsentrasi. Gaya gravitasi membawa sebagian besar jatuhan sampah dari atas tanah menuju permukaan tanah, dimana proses inisiasi/awal dari dekomposisi dan pelepasan nutrisi terjadi. Hal inilah yang menyebabkan akar cenderung tumbuh menuju permukaan tanah untuk mengakses nutrisi. Transfer unsur karbon pada permukaaan tanah menuju lapisan dibawahnya terjadi pada saat proses pencampuran tanah oleh hewan (terutama rayap dan cacing tanah) serta peluluhan bahan organik terlarut. Oleh sebab itu, maka sekitar setengah dari karbon organik tanah biasanya terdapat pada kedalaman tanah di bawah 20cm –meskipun hanya sepertiga bagian dari akar yang berada pada kedalaman tersebut. Hal ini menyebabkan dekomposisi yang terjadi pada tanah dalam tidak bisa diabaikan.

Tingkat dekomposisi secara spasial merupakan proses yang heterogen di beberapa skala. Lapisan sampah di atas lapisan tanah mineral memperlihatkan perubahan suhu dan kelembaban harian yang besar. Hal ini menyebabkan proses dekomposisi pada lapisan ini didominasi oleh jamur pengimpor nitrogen dari lapisan dibawahnya. Keadaan tersebut sangat berbeda dengan keadaan pada lapisan tanah mineral, di mana suhu dan kelembaban lebih stabil, beberapa bahan organik lebih bersifat basah (humified) dan solid (recalcitrant), dan permukaan tanah mineral memiliki sifat mengikat bahan organik mati dan enzim mikroba. Pada skala yang lebih halus, area rizosfir sekitar akar adalah sebuah lingkungan mikro kaya karbon yang mendukung aktivitas mikroba jauh lebih tinggi daripada area lainnya. Pada akhirnya, keadaan interior dari agregat tanah akan lebih cenderung anaerobik daripada permukaan pori tanah. Keadaan pergerakan akar, air, serta hewan di dalam tanah akan terus mengubah tata ruang spasial dari lingkungan yang berbeda untuk proses dekomposisi tersebut.

Pada beberapa ekosistem, seperti hutan tropis, seringkali ditemukan adanya  sampah yang terjebak pada epifit dan cabang kanopi (di atas permukaan tanah) dalam jumlah yang signifikan. Di dalam ekosistem yang basah ini, proses dekomposisi substansial, pelepasan nutrisi, dan serapan hara oleh epifit berakar dapat juga terjadi pada daerah kanopi tersebut. Beberapa sampah dari ekosistem daratan dan karbon organik terlarut (DOC) juga dapat masuk ke dalam area sungai dan danau –menjadi sumber energi untuk jaring makanan pada ekosistem akuatik. Dalam ekosistem tidak produktif, DOC yang masuk ke sungai ini dapat bersifat begitu solid yang sebagian besar masih belum dapat diproses –menyebabkan fenomena sungai berair hitam yang menjadi ciri banyak hutan dan rawa-rawa tropis.

FAKTOR-FAKTOR PENGENDALI DEKOMPOSISI

Proses dekomposisi dikendalikan oleh tiga tipe faktor, yaitu: kondisi lingkungan fisik, kualitas dan kuantitas dari substrat yang tersedia untuk dekomposer, serta karakteristik dari komunitas mikroba.

Kondisi Lingkungan Fisik

Temperatur

Temperatur mempengaruhi proses dekomposisi secara langsung dengan meningkatkan aktivitas mikroba dan secara tidak langsung dengan mengubah kelembaban tanah serta kuantitas dan kualitas masukan bahan organik ke dalam tanah (Gbr. 2). Meningkatnya suhu menyebabkan peningkatan eksponensial dalam proses respirasi mikroba pada rentang temperatur yang luas –mempercepat mineralisasi karbon organik menjadi CO2. Keadaan temperatur yang tinggi secara terus menerus menyebabkan proses dekomposisi berlangsung dengan lebih cepat. Temperatur juga memiliki banyak efek tidak langsung terhadap proses dekomposisi. Temperatur tinggi mengurangi kelembaban tanah dengan meningkatkan proses evaporasi dan transpirasi. Stimulasi aktivitas mikroba oleh temperatur yang hangat juga menginisiasikan serangkaian perputaran umpan balik (feedback-loop) yang mempengaruhi proses dekomposisi. Di sisi lain, pelepasan nutrisi oleh proses dekomposisi pada temperatur tinggi meningkatkan kuantitas dan kualitas sampah yang dihasilkan oleh tanaman –mengubah substrat yang tersedia untuk dekomposisi. Temperatur yang tinggi juga meningkatkan tingkat pelapukan kimia, yang dalam jangka pendek menyebabkan peningkatan pasokan nutrisi. Sebagian besar efek tidak langsung dari temperatur menyebabkan terjadinya peningkatan respirasi tanah pada suhu yang hangat dan memberikan kontribusi pada proses dekomposisi yang lebih cepat (diamati pada kondisi iklim hangat).

Kelembaban

Dekomposer mengalami kondisi paling produktif dalam kondisi lembab yang hangat (pasokan oksigen yang cukup tersedia) –kondisi yang menyebabkan tingkat dekomposisi yang tinggi pada hutan tropis. Tingkat dekomposisi umumnya mengalami penurunan pada kelembaban tanah yang kurang dari 30 sampai 50% dari massa kering –dikarenakan penurunan ketebalan dari lapisan lembab pada permukaan tanah yang menyebabkan penurunan kecepatan difusi substrat oleh mikroba. Proses dekomposisi juga mengalami penurunan pada kadar kelembaban tanah yang tinggi (misalnya lebih besar dari 100 hingga 150% dari massa kering). Pada kasus batangan pohon kayu yang membusuk, terdapat lingkungan mikro yang unik dan umumnya memiliki kadar air yang tinggi. Hal ini menyebabkan tingkat laju dekomposisi batangan pohon ini menjadi terbatasi (dipengaruhi oleh jumlah pasokan oksigen). Tingkat dekomposisi batangan kayu umumnya mengalami penurunan seiring dengan meningkatnya diameter batang tersebut –karena ukuran batangan besar umumnya memiliki lebih banyak uap air dan lebih sedikit oksigen.

Properti Tanah

Proses dekomposisi terjadi lebih cepat pada kondisi netral daripada kondisi asam. Peningkatan secara menyeluruh di tingkat dekomposisi pada pH yang lebih tinggi mungkin mencerminkan adanya kompleksitas interaksi antar faktor, termasuk perubahan dalam komposisi spesies tumbuhan dan terkait dengan perubahan dalam kuantitas dan kualitas sampah. Terlepas dari penyebab perubahan keasaman dan komposisi jenis tanaman yang terkait, pH rendah cenderung dikaitkan dengan tingkat dekomposisi yang rendah.

Mineral lempung (liat) dapat mengurangi tingkat dekomposisi terhadap bahan organik tanah, sehingga dapat meningkatkan kandungan organik tanah. Lempung mengubah lingkungan fisik tanah dengan meningkatkan kapasitas pegang air (water-holding capacity). Hal ini mengakibatkan terjadinya pembatasan suplai oksigen yang dapat mengurangi tingkat dekomposisi pada tanah lempung basah. Bahkan pada kelembaban tanah yang sedang, mineral lempung dapat meningkatkan akumulasi bahan organik dengan: mengikat bahan organik tanah; mengikat enzim mikroba; dan mengikat produk aktivitas eksoenzim terlarut. Dapat dikatakan, efek akhir dari pengikatan yang dilakukan oleh mineral lempung ini adalah perlindungan materi organik tanah dan pengurangan tingkat dekomposisi.

Gangguan pada Tanah

Gangguan pada tanah berpengaruh pada peningkatan dekomposisi dengan mempromosikan proses aerasi serta mengekspos permukaan baru untuk proses penyerangan oleh mikroba. Mekanisme dimana proses gangguan ini merangsang terjadinya dekomposisi pada dasarnya sama pada semua skala; mulai dari pergerakan cacing di dalam tanah sampai proses pengolahan tanah pada bidang pertanian. Peristiwa proses ini pada hakikatnya mengganggu agregat tanah sehingga bahan organik yang terkandung di dalamnya menjadi lebih terbuka terhadap oksigen dan kolonisasi oleh mikroba. Dampak gangguan pada tanah ini yang paling menonjol terlihat pada keadaan tanah basah yang hangat –dimana proses aerasi yang telah meningkat ini besar pengaruhnya terhadap proses dekomposisi.

Kualitas dan Kuantitas Substrat

Sampah

Perbedaan-perbedaan yang terjadi pada tingkat dekomposisi pada dasarnya merupakan konsekuensi yang logis dari jenis senyawa kimia yang hadir dalam serasah atau sampah tersebut. Senyawa-senyawa ini dapat dikategorikan diantaranya sebagai senyawa metabolik labil (seperti gula dan asam amino), senyawa struktural agak labil (seperti selulosa dan hemiselulosa), dan senyawa struktural solid (seperti lignin dan cutin). Sampah yang cepat membusuk (terdekomposisi) umumnya memiliki kuantitas konsentrasi yang lebih tinggi pada substrat labil dan konsentrasi yang lebih rendah pada senyawa solid. Terdapat lima sifat kimia bahan organik yang saling berkaitan dalam menentukan kualitas substrat: ukuran molekul, jenis ikatan kimia, keteraturan struktur, toksisitas, dan konsentrasi nutrisi. Setiap sifat dapat berfungsi sebagai prediktor tingkat laju dekomposisi karena sifat-sifat tersebut cenderung saling berkorelasi. Rasio perbandingan konsentrasi karbon dengan nitrogen (rasio C : N) misalnya, sering digunakan sebagai indeks dari kualitas sampah; karena sampah dengan rasio “C : N” yang rendah (konsentrasi nitrogen tinggi) umumnya mengalami dekomposisi yang cepat. Namun, bukanlah konsentrasi nitrogen dari sampah maupun ketersediaan nitrogen dalam tanah yang secara langsung mempengaruhi tingkat dekomposisi pada ekosistem alami; hal ini menunjukkan bahwa rasio “C : N” bukan merupakan properti kimiawi yang langsung mengontrol proses dekomposisi dalam ekosistem. Untuk kondisi sampah solid, rasio konsentrasi lignin atau “lignin : N” sering juga digunakan sebagai prediktor tingkat dekomposisi –menunjukkan kembali atas peran penting kualitas karbon dalam menentukan tingkat dekomposisi .

Materi Organik Tanah

Materi organik tanah dihasilkan dari sampah melalui proses fragmentasi oleh invertebrata tanah serta perubahan kimia oleh mikroba. Setelah mikroba ini mati, komponen chitin serta komponen solid lain pada dinding sel mikroba tersebut menyebabkan terjadinya peningkatan proporsi massa dari sampah (massa sampah sebelum yang ditambah massa mikroba) dan reaksi-reaksi non-enzimatik yang menghasilkan senyawa humic. Kesemua proses ini berakibat terjadinya pengurangan kualitas bahan organik tanah secara bertahap (penuaan) -rasio “C : N” juga mengalami penurunan seiring proses dekomposisi berjalan. Dapat disimpulkan, pada proses dekomposisi terhadap materi organik tanah (seperti halnya pada sampah), kualitas karbon dapat dikatakan merupakan alat prediksi tingkat laju dekomposisi yang baik.

Sudah menjadi sifat heterogen dari materi organik tanah yang membuatnya sulit dalam pengidentifikasian kontrol kimiawi atas proses dekomposisi materi tersebut. Hal ini dikarenakan adanya percampuran senyawa organik dari usia yang berbeda dengan komposisi kimiawi. Komponen-komponen yang berbeda usia dari materi organik tanah ini dapat dipisahkan melalui sentrifugasi kerapatan, karena partikel baru bersifat kurang padat apabila dibandingkan dengan yang tua dan cenderung tidak terikat pada partikel mineral tanah. Keadaan tanah dimana memiliki proporsi materi organik tanah yang besar dalam pecahan ringan umumnya memiliki tingkat dekomposisi yang tinggi. Sebagai alternatif lain, tanah dapat dipisahkan secara kimiawi menjadi pecahan-pecahan yang berbeda, seperti senyawa air terlarut, asam humic, dan asam fulvat –yang berbeda dalam usia rata-rata dan kemudahan dalam penguraian. Materi organik tanah secara rata-rata umumnya memiliki waktu tinggal (residence time) antara 20 sampai 50 tahun, meskipun ini dapat bervariasi pada kisaran antara 1 sampai 2 tahun pada lahan budidaya hingga ribuan tahun pada  lingkungan dengan tingkat dekomposisi yang lambat.

Komposisi Komunitas Mikroba dan Kapasitas Enzimatis

Aktivitas enzim dalam tanah bergantung pada komposisi komunitas mikroba dan sifat dari matriks tanah. Komposisi dari komunitas mikroba berperan sangat penting karena komposisi tersebut sangat berpengaruh terhadap jenis dan tingkat produksi enzim. Enzim pemecah substrat umum seperti protein dan selulosa dihasilkan oleh begitu banyak jenis mikroba (dimana jenis enzim-enzim ini memang secara universal sering djumpai di dalam tanah). Enzim-enzim yang terlibat di dalam proses-proses yang hanya terjadi dalam lingkungan tertentu, seperti proses denitrifikasi (atau produksi metana) dan oksidasi, tampak lebih sensitif terhadap komposisi komunitas mikroba ini. Aktivitas enzim tanah juga dipengaruhi oleh tingkat laju penonaktifan enzim di dalam tanah, baik oleh degradasi oleh protease tanah atau dengan cara mengikat mineral tanah. Peristiwa pengikatan enzim ke permukaan eksternal dari akar atau mikroba mengakibatkan perpanjangan aktivitas enzim di dalam tanah; sedangkan pengikatan terhadap partikel mineral dapat mengubah konfigurasi enzim atau memblokir lahan aktif dari enzim tersebut sehingga mengurangi aktivitasnya.

Sebagian besar mikroba tanah (termasuk jamur ericoid dan ektomikoriza) menghasilkan enzim (protease dan peptidase) yang memecah protein menjadi asam amino. Produk-produk penguraian ini dapat dengan segera diserap oleh mikroba dan digunakan baik untuk memproduksi protein mikroba ataupun memberikan energi respirasi. Dikarenakan protease merupakan subjek yang sering diserang oleh protease lain, umur hidup enzim  ini di dalam tanah relatif pendek, dan aktivitas protease ini cenderung merupakan cerminan dari aktivitas mikroba. Namun lain halnya dengan fosfatase (enzim yang membelah fosfat dari senyawa fosfat organik) yang dapat hidup lebih lama, sehingga aktivitas enzim ini di tanah berkorelasi lebih kuat terhadap ketersediaan fosfat organik di dalam tanah daripada dengan aktivitas mikroba.

Selulosa merupakan penyusun senyawa kimia yang paling banyak ditemukan dari sampah tanaman –senyawa ini terdiri dari rantai unit glukosa, sering memiliki panjang ribuan unit, namun tidak ada glukosa ini yang tersedia sampai diaktivasikannya oleh eksoenzim. Proses pemecahan selulosa memerlukan tiga sistem enzim yang terpisah: endoselulase sebagai pemutus ikatan internal untuk mengganggu struktur kristal selulosa; eksoselulase kemudian bertindak sebagai pembelah unit disakarida dari ujung-ujung rantai –membentuk selobiosa; yang kemudian diserap oleh mikroba dan dipecah secara intraseluler menjadi glukosa oleh selobiase. Beberapa mikroba tanah, termasuk sebagian besar fungi, dapat menghasilkan seluruh paket enzim selulase. Organisme lain, seperti beberapa bakteri, hanya menghasilkan beberapa enzim selulase dan harus berfungsi sebagai bagian dari konsorsium mikroba untuk mendapatkan energi dari pemecahan selulosa.

Penguraian komponen lignin membutuhkan proses yang perlahan-lahan dikarenakan hanya beberapa organisme mikroba (terutama fungi) yang memproduksi enzim yang diperlukan pada proses ini; dan mikroba inipun hanya menghasilkan enzim apabila substrat yang lebih labil lainnya sudah tidak tersedia. Lignin terbentuk secara non-enzimatik oleh reaksi kondensasi dengan fenol serta radikal bebas –menciptakan struktur tidak beraturan yang tidak sesuai dengan spesifikasi untuk teruraikan oleh enzim-enzim pada umumnya. Untuk alasan ini, enzim pendegradasi lignin menggunakan radikal bebas, yang memiliki spesifisitas substrat yang rendah. Oksigen diperlukan untuk menghasilkan radikal bebas ini, sehingga proses penguraian lignin tidak dapat terjadi pada keadaan tanah anaerobik. Dekomposer umumnya berinvestasi energi dalam memproduksi enzim pendegradasi lignin ini.

KESIMPULAN

Dekomposisi merupakan suatu rangkaian proses yang disebabkan oleh interaksi dari proses fragmentasi, perubahan kimia, serta peluluhan –ketiga proses turunan utama ini dapat terjadi di dalam fase waktu yang bersamaan maupun terpisah. Umumnya, proses dekomposisi ini berlangsung setidaknya di dalam tiga fase waktu; dan ketiga fase waktu ini memiliki rentang waktu yang berbeda –dimana rentang waktu pada masing-masing fase semakin melebar seiring dengan berlangsungnya proses di dalam ketiga fase tersebut yang menyebabkan tingkat proses dekomposisi mengalami penurunan seiring dengan waktu. Hal inilah yang mendasari adanya heterogenitas temporal pada proses dekomposisi. Heterogenitas spasial dari proses dekomposisi sangat dipengaruhi oleh gaya gravitasi dan lebih bersifat vertikalisme. Mulai dari jatuhnya sampah dari atas menuju permukaan tanah hingga proses penyaluran unsur-unsur yang mulai terurai dari permukaan menuju lapisan dibawahnya –menyebabkan terdapatnya beberapa lingkungan mikro yang berbeda-beda untuk tiap lapisan kedalaman; yang tentunya komposisi dari proses dekomposisi pada tiap lapisan tersebut juga akan berbeda-beda. Keadaan ini diperkuat dengan adanya pergerakan akar, air, serta hewan di dalam tanah yang akan terus mengubah tata ruang spasial.

Proses dekomposisi dikendalikan oleh tiga tipe faktor, yaitu: kondisi lingkungan fisik, kualitas dan kuantitas dari substrat yang tersedia untuk dekomposer, serta karakteristik dari komunitas mikroba. Kondisi lingkungan fisik diantaranya adalah temperatur (suhu), kelembaban, properti tanah, serta gangguan yang terjadi pada tanah. Kualitas dan kuantitas dari substrat yang dimaksud di sini yaitu substrat sebagai sampah itu sendiri maupun sebagai materi  organik tanah. Karakter dari komunitas mikroba merupakan kombinasi keadaan antara komposisi dari komunitas mikroba itu sendiri dengan kapasitas enzimatis yang tercipta atau terjadi akibat dari komposisi komunitas mikroba tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Chapin, F. Stuart et al. Principles of Terrestrial Ecosystem Ecology. 2002. New York: Springer-Verlag.

9.10.11

14 Sep

9.10.11

be ready…..

Urban Landscape of Banceuy, an ecological transition.. [2010]

5 Sep

Research and Education Zone for Reclamation of Ex-mining Area, Bangka [2010]

4 Sep

Do we need a better environment ??

Some say they do..

I do..

[studio assignment on ex tin mining area in Bangka Island]

City’s Green Molecule: Industri Dalam Housing District, Bandung [2009-2010]

3 Sep

Utopian imagining of urban housing green space…

[Collaborative Studio Assignment]

my new hobby only last for a week..

2 Sep

“There’s always one soul who thinks he can make a big difference, and we need to shoot him dead to prove otherwise” -the Shooter

How can we think that we can provide a better living example, if the situation in the end always makes us give up and return to the starting point (mercifully not to the death)?

Sumber: Polygon dan Rodalink Indonesia

[in memoriam my Polygon Special Batik Edition -September 2, 2010 ; my new hobby only last for a week -I haven’t photographed it yet!!!]

Bandung Botanical Garden [2009]

2 Sep

Studio Assigment for Creating a Better Green-Open_Space in Bandung, Indonesia